BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sejak mencuatnya kasus 11 September di Amerika
Serikat, Negara-negara di dunia mulai meningkatkan keamanan dan berbagai
langkah antisipasi terhadap gerakan terorisme, baik yang datang dari luar
negeri maupun dari dalam negeri itu sendiri. Pasca tragedi bom Bali I, tanggal
12 Oktober 2002 yang tercatat, sedikitnya, 202 orang tewas dan 209 orang
terluka,Indonesia mulai mengintensifkan penanganan terorisme.
Hal ini diapresiasikan dengan di bentuknnya pasukan
Densus 88 Anti terror oleh Mabes POLRI atau pasukan khusus lainnya yang tugas
utamanya mengantisipasi dan menggagalkan aksi terorisme di Indonesia.
Akhir-akhir ini, modus aksi terorisme mulai beragam, mulai dari bom bunuh diri,
bom buku bahkan dengan modus penculikan yang disertai dengan pencucian otak korbannya
(brain whasing). Ancaman tersebut bisa terjadi kapan saja dan di mana saja,
serta mengancam keselamatan jiwa setiap orang. Saat ini tidak ada tempat yang
aman dan dapat dikatakan bebas dari ancaman terorisme.
Istilah teroris oleh para ahli kontraterorisme
dikatakan merujuk kepada para pelaku yang tidak tergabung dalam angkatan
bersenjata yang dikenal atau tidak menuruti peraturan angkatan bersenjata
tersebut. Aksi terorisme juga mengandung makna bahwa serangan-serangan teroris
yang dilakukan tidak berprikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi, dan oleh
karena itu para pelakunya (teroris) layak mendapat pembalasan yang kejam.
Akibat makna-makna negative yang dikandung oleh perkataan “teroris” dan
“terorisme”, para teroris umumnya menyebut diri mereka sebagai separatis,
pejuang pembebasan, pasukan perang salib, militant, mujahidin, dan lain-lain.
Adapun makna sebenarnya dari jihad, mujahidin adalah jauh dari tindakan
terorisme yang menyerang penduduk sipil yang tidak terlibat dalam perang.
Terorisme sendiri sering tampak dengan mengatasnamakan agama.
Menyadari sedemikian besarnya kerugian yang
ditimbulkan oleh suatu tindak Terorisme, serta dampak yang dirasakan secara
langsung oleh Indonesia sebagai akibat dari Tragedi Bom Bali I, merupakan
kewajiban pemerintah untuk secepatnya mengusut tuntas Tindak Pidana Terorisme
itu dengan memidana pelaku dan aktor intelektual dibalik setiap aksi terorisme
tersebut. Hal ini menjadi prioritas utama dalam penegakan hukum.
Untuk melakukan pengusutan, diperlukan perangkat hukum
yang mengatur tentang Tindak Pidana Terorisme. Menyadari hal ini dan lebih
didasarkan pada peraturan yang ada saat ini yaitu Kitab Undang- Undang Hukum
Pidana (KUHP), akhirnya pemerintah menyusun Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perpu) nomor 1 tahun 2002, yang pada tanggal 4 April 2003
disahkan menjadi Undang-Undang dengan nomor 15 tahun 2003 Tentang
pemberantasanTindak Terorisme
Dengan
adanya permasalah mengenai tindak pidana terorisme, maka dengan ini penulis
tertarik untuk menyusun makalah dengan judul “ Kekhususan Tindak Pidana Terorisme dalam Peraturan Undang-undang Nomor
15 Tahun 2003 “.
B.
Rumusan
Masalah
a. Apakah
yang dimaksud dengan terorisme?
b. Bagaimana
kekhususan Undang-undang terorisme?
c. Bagaimanakah
unsur-unsur tindak pidana terorisme yang terkandung dalam Undang Undang Nomor
15 Tahun 2003?
C.
Tujuan
Penulisan
a. Untuk
mengetahui maksud dari terorisme.
b. Untuk
mengetahui kekhusuan dari Undang-undang terorisme.
c. Untuk
mengetahui unsur-unsur tindak pidana terorisme.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Terorisme
Definisi
terorisme sampai dengan saat ini masih menjadi perdebatan meskipun sudah ada
ahli yang merumuskan dan juga dirumuskan di dalam peraturan perundang-undangan.
Akan tetapi ketiadaan definisi yang seragam menurut hukum internasional
mengenai terorisme tidak serta-merta meniadakan definisi hukum terorisme itu.
Masing-masing negara mendefinisikan menurut hukum nasionalnya untuk mengatur,
mencegah dan menanggulangi terorisme.
Terorisme
merupakan suatu istilah yang digunakan untuk penggunaan kekerasan terhadap
penduduk sipil/non kombatan untuk mencapai tujuan politik, dalam skala lebih
kecil daripada perang . Dari segi bahasa, istilah teroris berasal dari Perancis
pada abad 18. Kata Terorisme yang artinya dalam keadaan teror ( under the
terror ), berasal dari bahasa latin ”terrere” yang berarti gemetaran
dan ”detererre” yang berarti takut.
Istilah terorisme pada awalnya digunakan untuk menunjuk suatu musuh dari
sengketa teritorial atau kultural melawan ideologi atau agama yang melakukan aksi
kekerasan terhadap publik. Penggunaan istilah teroris meluas dari warga yang
tidak puas sampai paada non komformis politik. Aksi terorisme dapat dilakukan
oleh individu, sekelompok orang atau negara sebagai alternatif dari pernyataan
perang secara terbuka.
Sedangkan menurut beberapa ahli yang menyumbangkan pemikirannya
tentang pengertian terorisme, berikut adalah beberapa di antaranya yang paling
populer :
a.
Walter Laqueur (Laqueur, 1977): terorisme adalah penggunaan kekuatan secara
tidak sah untuk mencapai tujuan-tujuan politik. Target terorisme adalah
masyarakat sipil yang tidak bersalah/berdosa. Unsur utama terorisme adalah
penggunaan kekerasan
- James
H. Wolfe menjelaskan beberapa karakteristik yang bisa dikategorikan
sebagai terorisme, yaitu (Wolfe, 1987):
1.
Tindakan terorisme tidak selamanya
harus bermotif politis
2.
Sasaran terorisme dapat berupa sipil
(masyarakat, fasilitas umum) maupun non-sipil (pejabat dan petugas negara,
fasilitas negara)
3.
Aksi terorisme ditujukan untuk
mengintimidasi dan mempengaruhi kebijakan pemerintahan.
4.
Aksi terorisme dilakukan melalui
tindakan-tindakan yang tidak menghormati hukum dan etika internasional
- C.
Manullang: Terorisme adalah suatu cara untuk merebut kekuasaan dari
kelompok lain, dipicu oleh banyak hal, seperti; pertentangan (pemahaman)
agama, ideologi dan etnis, kesenjangan ekonomi, serta tersumbatnya
komunikasi masyarakat dengan pemerintah, atau karena adanya paham
separatisme dan ideologi fanatisme.
B.
Kekhususan
Undang-undang Terorisme
Ada
dua alasan penting mengapa terorisme menjadi musuh bersama bangsa Indonesia :
1. Keterangan
pemerintah tentang diterbitkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2002 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
2. Perpu
Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Pemberlakuan Perpu No 1 Tahun 2002 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali
tanggal 12 Oktober 2002.
Dewasa
ini terorisme mempunyai jaringan yang luas dan bersifat global yang mengancam
perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional. Sejak
itu pemerintah Indonesia mengeluarkan peraturan pemerintah Nomor 1 Tahun 2002
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang kemudian disahkan menjadi
Undang-Undang Anti Terorisme. Seiring dengan itu Presiden mengeluarkan
Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2002, yang menugaskan Menko Polkam untuk
melakukan dua hal sebagai berikut :
1.
Merumuskan
Kebijakan dan Strategi Nasional Pemberantasan Terorisme.
2. Mengkoordinasikan semua langkah-langkah operasional pemberantasan
terorisme.
Untuk
merealisasikan Inpres tersebut dibentuk Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme
(DKPT). Kebijakan pemerintah dalam pemberantasan terorisme dititik beratkan
kepada dua hal yaitu:
1. Upaya Penegakkan hukum secara adil dan transparan.
2. Upaya Counter Radikalisme (Program Deradikalisasi) untuk
menetralisir ideologi radikal yang menjadi pemicu utama terjadinya aksi
terorisme.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 1 Tahun 2002
yang kemudian disetujui menjadi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 secara spesifik juga memuat
perwujudan ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) dalam Convention Against Terorism Bombing (1997) dan Convention on the
Suppression of Financing Terorism (1997), antara lain memuat
ketentuan-ketentuan tentang lingkup yuridiksi yang bersifat transnasional dan
internasional serta ketentuan-ketentuan khusus terhadap tindak pidana terorisme
internasional. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002
juga mempunyai kekhususan, antara lain:
1.
Merupakan ketentuan payung hukum
terhadap peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan tindak
pidana terorisme.
2.
Memuat ketentuan khusus tentang
perlindungan terhadap hak asasi tersangka atau terdakwa yang disebut safe
guarding rules.
3.
Di dalam Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang ini juga ditegaskan bahwa tindak pidana yang bermotif
politik atau yang bertujuan politik sehingga pemberantasannya dalam wadah
kerjasama bilateral dan multilateral dapat dilaksanakan secara lebih efektif
4.
Memuat ketentuan yang memungkinkan
Presiden membentuk satuan tugas anti teror dengan prinsip transparansi dan
akuntabilitas publik (sunshine principle) dan atau prinsip pemberantasan
waktu efektif (sunset principle) yang dapat mencegah penyalahgunaan
wewenang satuan tugas bersangkutan. Memuat ketentuan tentang yuridiksi yang
didasarkan kepada asas teritorial, asas ekstrateritorial dan asas nasional
aktif sehingga diharapkan dapat secara efektif memiliki daya jangkauan terhadap
tindak pidana terorisme.
5.
Memuat ketentuan tentang pendanaan
untuk kegiatan teroris sebagai tindak pidana terorisme sehingga sekaligus juga
membuat Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
6.
Ketentuan dalam Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini tidak berlaku bagi kemerdekaan
menyampaikan pendapat di muka umum, baik melalui unjuk rasa, protes, maupun
kegiatan-kegiatan yang bersifat advokasi.
7.
Di dalam Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang ini tetap dipertahankan ancaman sanksi pidana yang
minimum khusus untuk memperkuat fungsi penjeraan terhadap para pelaku tindak
pidana terorisme.
8.
Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang ini merupakan ketentuan khusus yang diperkuat sanksi pidana dan
sekaligus merupakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang bersifat
koordinatif (coordinating act) dan berfungsi memperkuat
ketentuan-ketentuan di dalam peraturan perundangan lainnya yang berkaitan
dengan pemberantasan terorisme.
Sebagai
undang-undang pidana yang bersifat khusus, undang-undang ini berisi ketentuan ketentuan mengenai
terorisme yang sudah dijelaskan diatas, namun disisilain ada pengecualian dari
ketentuan-ketentuan hukum acara pidana yang diatur dalam KUHAP. Pengecualian
tersebut :
a. Untuk
kepentingan penyidikan dan penuntutan, penyidik diberi wewenang untuk melakukan
penahanan terhadap tersangka paling lama 6 (enam) bulan.
b. Untuk
memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap
laporan intelijen.
c. Penetapan
bahwa sudah dapat atau diperoleh bukti permulaan yang harus dilakukan proses
pemeriksaan oleh Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan Negeri.
d. Proses
pemeriksaan yang dimaksud dilaksanakan secara tertutup dalam waktu paling lama
3 (tiga) hari.
e. Jika
dalam pemeriksaan ditetapkan adanya bukti permulaan yang cukup, maka Ketua
Pengadilan Negeri segera memerintahkan dilaksanakan penyidikan.
f. Penyidik
dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga keras melakukan
tindak pidana terorisme berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) untuk paling lama 7x24 (tujuh kali dua puluh
empat) jam.
g. Penyidik,
penuntut umum, atau hakim berwenang memerinntahkan kepada bank dan lembaga jasa
keuangan untuk melakukan pemblokiran terhadap harta kekayaan setiap orang yang
diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana terorisme dan/atau
tindak pidana yang berkaitan dengan terorisme.
h. Dalam
hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut tidak hadir di sidang
pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus
tanpa hadirnya terdakwa.
i.
Alat bukti dalam
perkara tindak pidana terorisme, selain yang dimaksud dalam Hukum Acara Pidana,
juga alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima,
atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu,
dan data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau
didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik
yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas atau yang
terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada; tulisan, suara,
atau gamabr, peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; huruf, tanda, angka,
simbol, atau petforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang
mampu membaca atau memahaminya.
j.
Penyidik, penuntut
umum, atau hakim berwenang memerintahkan kepada bank dan lembaga jasa keuangan
untuk melakukan pemblokiran terhadap harta kekayaan setiap orang yang diketahui
atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana terorisme dan/atau tindak
pidana yang berkaitan dengan terorisme.
k. Hak
korban atau ahli warisnya akibat tindak pidana terorisme, mendapatkan
kompensasi atau restitusi.
Penggunaan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 didasarkan pada
pertimbangan bahwa terjadinya terorisme di berbagai tempat di Indonesia telah
menimbulkan kerugian baik materil maupun immateril serta menimbulkan ketidak
amanan bagi masyarakat oleh karena itu setelah menjadi Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2003, Undang-Undang tersebut telah menjadi ketentuan payung dan bersifat
koordinatif (coordinating act) terhadap peraturan perundang-undangan
lainnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana terorisme.Karena
terorisme merupakan kejahatan luar biasa (Extra Ordinary crime) yang
membutuhkan penanganan dengan mendayagunakan cara-cara luar biasa (Extra
Ordinary Measure).
Menurut
Barda Nawawi Arief, kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan
(politik kriminal) pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya
perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai
kesejahteraan masyarakat (social welfere) Oleh karena itu dapatlah
dikatakan bahwa tujuan akhir dari politik kriminal adalah perlindungan
masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.
Menurut Barda Nawawi Arief, kebijakan penanggulangan kejahatan
yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan secara garis besar meliputi:
a.
Perencanaan atau kebijakan tentang
perbuatan-perbuatan terlarang apa yang akan ditanggulangi karena dipandang
membahayakan atau merugikan.
b.
Perencanaan atau kebijakan tentang
sanksi apa yang dapat dikenakan terhadap pelaku perbuatan terlarang itu (baik
berupa pidana atau tindakan) dan sistem penerapan.
c.
Perencanaan atau kebijakan tentang
prosedur atau mekanisme peradilan pidana dalam rangka proses penegakan hukum
pidana. Kebijakan penegakan hukum pidana merupakan rangkaian proses yang
terdiri dari 3 (tiga) tahap kebijakan, yaitu tahap kebijakan legislatif, tahap
kebijakan yudikatif dengan aplikatif dan tahap kebijakan eksekutif dengan
administratif.
Dalam
menghadapi terorisme di Indonesia Romly Atmasasmita mengemukakan dengan
mempertimbangkan latar belakang filosofis, sosiologis dan yuridis diperlukan
suatu perangkat perundang-undangan yang memiliki visi dan misi serta terkandung
prinsip-prinsip hukum yang memadai sehingga dapat dijadikan penguat bagi
landasan hukum bekerjanya sistem peradilan pidana di mulai dari tingkat
penyidikan sampai pada pemeriksaan di sidang pengadilan.
Pembentukan Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia,
merupakan kebijakan dan langkah antisipatif yang bersifat proaktif yang di
landaskan kepada kehati-hatian dan bersifat jangka panjang, karena masyarakat
Indonesia adalah masyarakat multi etnik dan mendiami ratusan ribu pulau yang
tersebar di seluruh wilayah nusantara, letaknya ada yang berbatasan dengan
negara lain dan oleh karenanya seluruh komponen bangsa Indonesia berkewajiban
memelihara dan meningkatkan kewaspadaan akan adanya segala bentuk kegiatan
tindak pidana terorisme, disamping itu konflik yang sering terjadi di berbagai
daerah di Indonesia berakibat sangat merugikan kehidupan bangsa Indonesia yang
menyebabkan kemunduran peradaban yang pada akhirnya Indonesia akan dapat
menjadi tempat subur berkembangnya terorisme baik yang dilakukan orang
Indonesia sendiri maupun orang asing.
Ditinjau dari aspek yuridis,
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 mempunyai kekhususan meliputi :
1. sebagai ketentuan payung terhadap peraturan perundang-undangan
lainnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana terorisme juga
bersifat ketentuan khusus yang diperkuat sanksi pidana dan sekaligus
koordinatif dan berfungsi memperkuat ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. adanya perlindungan terhadap hak asasi tersangka atau terdakwa
yang disebut”safe guarding rules’
3. adanya pengecualian bahwa tindak pidana terorisme dikecualikan
dari tindak pidana politik atau tindak pidana yang bermotif politik atau tindak
pidana yang bertujuan politik sehingga pemberantasannya dalam wadah kerja sama
bilateral dan multilateral dapat dilaksanakan secara lebih efektif.
4. ketentuan undang-undang ini memberi kemungkinan Presiden membentuk
satuan tugas anti teror dengan berlandaskan prinsip transparansi dan
akuntabilitas publik (sun shine principle) dan atau prinsip pembatasan
waktu efektif (sunset principle).
5. adanya kualifikasi bahwa pendanaan untuk kegiatan terorisme
sebagai tindak pidana terorisme.
Dikenal,
diakui dan dipertahankannya ancaman sanksi pidana dengan minimum khusus untuk
memperkuat fungsi penjeraan terhadap pelaku tindak pidana terorisme.
C. Unsur Tindak Pidana Terorisme
Kekerasan yang dilakukan oleh kelompok teroris, merupakan tindak pidana
terorisme. Tindak pidana terorisme tersebut di atas terdapat dalam rumusan
Pasal 6 dan 7 UU No 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme. Dari kedua pasal tersebut dapat disimpulkan , bahwa suatu kelompok
dapat dikatakan sebagai kelompok teroris apabila memenuhi
unsur-unsur :
- Mengeksploitasi
kelemahan manusia secara sistematik, yaitu kengerian atau ketakutan yang
melumpuhkan.
- Adanya
penggunaan ancaman atau penggunaan kekerasan fisik.
- Adanya
tujuan politik yang ingin dicapai.
- Adanya
sasaran yang umumnya masyarakat sipil.
5.
Dilakukannya perencanaan dan
persiapan secara rasional.
Tindak pidana terorisme yang dirumuskan dalam pasal 6
UU no 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme , dapat
dikualifikasikan kedalam delik materil , sedangkan yang mengenai delik
formil tindak pidana terorisme terdapat dalam Pasal 7 sampai dengan pasal
12 UU no 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme.
Perbuatan yang dilarang dan dikategorikan sebagai
kegiatan terorisme adalah bermaksud untuk melakukan perbuatan yang menggunakan
kekerasan atau ancaman kekerasan di mana perbuatan tersebut dapat menimbulkan
suasana teror di tengah-tengah masyarakat.
Delik formil lainnya, yang menyangkut suatu kejahatan
yang dilakukan terhadap dan di dalam pesawat udara (in flight) yang terdapat
pada pasal 8 UU no 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme.
Lebih lanjut , dipertegas dalam perumusan pasal 9 UU no 15 tahun 2003 tentang
pemberantasan tindak pidana terorisme tersebut adalah :
- Setiap
orang (kelompok/korposasi);
- Melawan
hukum
- Memasukkan
ke Indonesia;
Membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba
menyerahkan,menguasai,membawa,mempunyai. Ada pula delik formil lainnya yang
menitik tekankan pada perbuatan yang dilarang kaitannya dengan tindak pidana
terorisme yang sering disebut sebagai technological terorism (tindak
pidana terorisme yang dalam perbuatan kejahatannya menggunakan teknologi.
Dan seseorang juga dianggap
melakukan Tindak Pidana Terorisme, berdasarkan ketentuan pasal 8, 9, 10, 11 dan
12 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme. Dari banyak definisi yang dikemukakan oleh banyak pihak, yang menjadi
ciri dari suatu Tindak Pidana Terorisme adalah:
- Adanya
rencana untuk melaksanakan tindakan tersebut.
- Dilakukan
oleh suatu kelompok tertentu.
- Menggunakan
kekerasan.
- Mengambil
korban dari masyarakat sipil, dengan maksud mengintimidasi pemerintah.
- Dilakukan
untuk mencapai pemenuhan atas tujuan tertentu dari pelaku, yang dapat
berupa motif sosial, politik ataupun agama.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Terorisme merupakan suatu istilah
yang digunakan untuk penggunaan kekerasan terhadap penduduk sipil/non kombatan
untuk mencapai tujuan politik, dalam skala lebih kecil daripada perang. . Kata
Terorisme yang artinya dalam keadaan teror ( under the terror ), berasal
dari bahasa latin ”terrere” yang berarti gemetaran dan ”detererre”
yang berarti takut. Sehingga dapat disimpulakn bahwa terorisme adalah seseorang
atau kelompok yang melakukan kekerasan dan kejahatan terhadap penduduk dengan
cara meneror untuk mencapai suatu kepentingan.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2002 mempunyai kekhususan, antara lain:
a.
Merupakan ketentuan payung hukum
terhadap peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan tindak
pidana terorisme.
b.
Memuat ketentuan khusus tentang
perlindungan terhadap hak asasi tersangka atau terdakwa yang disebut safe
guarding rules.
c.
Di dalam Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang ini juga ditegaskan bahwa tindak pidana yang bermotif
politik atau yang bertujuan politik sehingga pemberantasannya dalam wadah
kerjasama bilateral dan multilateral dapat dilaksanakan secara lebih efektif
d.
Memuat ketentuan yang memungkinkan
Presiden membentuk satuan tugas anti teror dengan prinsip transparansi dan
akuntabilitas publik (sunshine principle) dan atau prinsip pemberantasan
waktu efektif (sunset principle) yang dapat mencegah penyalahgunaan wewenang
satuan tugas bersangkutan. Memuat ketentuan tentang yuridiksi yang didasarkan
kepada asas teritorial, asas ekstrateritorial dan asas nasional aktif sehingga
diharapkan dapat secara efektif memiliki daya jangkauan terhadap tindak pidana
terorisme.
e.
Memuat ketentuan tentang pendanaan
untuk kegiatan teroris sebagai tindak pidana terorisme sehingga sekaligus juga
membuat Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang.
f.
Ketentuan dalam Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini tidak berlaku bagi kemerdekaan
menyampaikan pendapat di muka umum, baik melalui unjuk rasa, protes, maupun
kegiatan-kegiatan yang bersifat advokasi.
g.
Di dalam Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang ini tetap dipertahankan ancaman sanksi pidana yang
minimum khusus untuk memperkuat fungsi penjeraan terhadap para pelaku tindak
pidana terorisme.
h.
Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang ini merupakan ketentuan khusus yang diperkuat sanksi pidana dan
sekaligus merupakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang bersifat
koordinatif (coordinating act) dan berfungsi memperkuat
ketentuan-ketentuan di dalam peraturan perundangan lainnya yang berkaitan
dengan pemberantasan terorisme.
Dari
aspek yuridis, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 mempunyai kekhususan meliputi
:
a. sebagai ketentuan payung terhadap peraturan perundang-undangan
lainnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana terorisme juga
bersifat ketentuan khusus yang diperkuat sanksi pidana dan sekaligus
koordinatif dan berfungsi memperkuat ketentuan peraturan perundang-undangan.
b. adanya perlindungan terhadap hak asasi tersangka atau terdakwa
yang disebut”safe guarding rules’
c. adanya pengecualian bahwa tindak pidana terorisme dikecualikan
dari tindak pidana politik atau tindak pidana yang bermotif politik atau tindak
pidana yang bertujuan politik sehingga pemberantasannya dalam wadah kerja sama
bilateral dan multilateral dapat dilaksanakan secara lebih efektif.
d. ketentuan undang-undang ini memberi kemungkinan Presiden membentuk
satuan tugas anti teror dengan berlandaskan prinsip transparansi dan
akuntabilitas publik (sun shine principle) dan atau prinsip pembatasan
waktu efektif (sunset principle).
e. adanya kualifikasi bahwa pendanaan untuk kegiatan terorisme
sebagai tindak pidana terorisme.
3. Unsur–unsur
Tindak Pidana Terorisme dapat disimpulkan dari pasal-pasal
tersebut yakni :
a.
Adanya rencana untuk melaksanakan
tindakan tersebut.
b.
Dilakukan oleh suatu kelompok
tertentu.
c.
Menggunakan kekerasan.
d.
Mengambil korban dari masyarakat
sipil, dengan maksud mengintimidasi pemerintah.
e.
Dilakukan untuk mencapai pemenuhan
atas tujuan tertentu dari pelaku, yang dapat berupa motif sosial, politik
ataupun agama.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Bambang
Abimanyu. Teror Bom di Indonesia, Jakarta: Grafindo.2005.hlm 62
Indriyanto Seno Adji,
Terorisme dan HAM dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia.Jakarta: O.C.
Kaligis & Associates.2001.hlm 17
Renggong,
Ruslan. 2016. Hukum Pidana Khusus
Meemahami Delik-Delik di Luar KUHP. Jakarta: Prenadamedia Group.
Susilo Bambang Yudhoyono,
Selamatkan Negeri Kita Dari Terorisme, Kementrian Koordinator
Polkam, 2002.
Website
https://damailahindonesiaku.com/terorisme/penegertian-terorisme/
Indriyanto Seno Adji, Terorisme dan HAM
dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia.Jakarta: O.C. Kaligis &
Associates.2001.hlm 17