Minggu, 13 Februari 2022

New Wife and New Mom

 Hello readers,

Setelah sekian lama vacum sampai lupa nama akun dan lain2, akhirnya sekarang memutuskan untuk aktif menulis  lagi. Walau sekedar curhat,. aku pengen sharing sama kalian semua as a new wife dan as a new mom. Hello...postingan terakhir ketika aku belum menikah dan kini aku sudah mendikah dan dikaruniai seorang putri cantik.

Well,

This is my story begin,

Perkenalan pertamaku dengan suamiku adalah ketika kami di SMP, dia adalah seorang teman sekolahku yang nakal dan suka mengejek. Kala itu dia sering sekali menggangguku, mengisengi, caper, dan lain sebagainya. Mulanya aku ladenin, namanya juga anak kecil ya baru puber, digoda lelaki langsunglah tergiur dan kukejar. Begituu terus hingga akhirnya aku merasa jenuh dan hanya diam, ketika diejek aku hanya diam, ketika diisengin, aku hanya diam. Hingga akhirnya terdengar kabar bahwa lelaki itu menyukaiku. Begitu aku tau kabar itu, jelaslah aku membencinya dan tidak pernah menyapa bahkan mengucapkan sepatah kata apapun padanya. Waktu berlalu dan selama 3 tahun di SMP kami tidak saling mengobrol satu sama lain, dan ketika masuk SMA dia punya pacar. Dan kalian tau? Betapa bucinnya dia dengan pacarnya wkwkkwwk kalo diingat2 lucu juga sebucin itu dia sama pacarnya. Begitu juga aku, bucin dan sampai prestasiku menurun dibuatnya, kebucinanku selama pacaran (tentunya berganti pasangan) berlanjut dan terus bertambah hingga kuliah semester akhir. Dipikir2 gila juga ya aku, bucin dengan orang yang menyelingkuhi, atau tidak menganggap aku ada. Hingga akhirnya aku dipertemukan kembali dengan suamiku ini setelah sekian lama kami tidak berkomunikasi, dia masih dengan pacarnya dan aku masih dengan pacarku. Kami sering mengorol, sering bertemu, sering chattingan hingga akhirnya timbullah perasaan sayang dan butuh dariku.

Terlebih statusnya yang telah menjadi pegawai tetap dengan masa depan yang "ada". Waktu itu aku tidka begitu mencintainya, aku hanya membutuhkan dan menyayangi tidak lebih dari seorang sahabat. Namun ternyata dialah yang mampu membuat aku dan keluargaku yakin, jika "dialah" orangnya. Aku tidak menyangka jika akhirnya aku akan menikah dengan sahabatku sendiri.

Pernikahan kami telah berlangsung satu tahun lamanya dan tidak kusangka ternyata aku langsung dipercayai oleh Tuhan YME untuk menjaga bayi kecil yang ada dalam kandunganku.

But...langsung dikaruniai anak ada negatif dan positifnya kalian mau tau apa aja kendalanya? Next aku cerita yaaa...sekarang waktunya kerja dulu.

Selasa, 24 September 2019

Hanya Sekedar Curhat

Dear readers, buat kalian yang udah kerja pernah nggasih ngrasain jenuh?
Terlebih itu jenuh karena ada faktor intern, seperti teman sekantor, atau bahkan problema sama atasan. Ya...aku sedang merasakan itu, JENUH. Bukan karena lingkungannya, bukan karena rekan kerjanya, tapi karena atasannya. Ya, memang namanya atasan dimanapun bisa melakukan apapun yang dia mau, bebas menguasai dan menggunakan apapun bahkan yang bukan miliknya. Kalo dikaitin sama sekolah, yahhh sejenis senioritas lah yaaa
I think, apa semua atasan seperti ini?
Di tempat kerjaku sebelumnya, atasanku semacam film "My Stupid Boss" dimana dia selalu menyuruh ini itu tanpa tau apa yang sedang dilakukan staff nya, bahkan parahnya pernah sekali pas lagi makan pake tangan baru aja makan dipanggil, dan yahhh mau gimana lagi, dateng dong...
Nah, atasanku di divisi lain beliau malah baik banget. Pas aku sendirian di ruangan (yah karena waktu itu emang tergolong anak baru dan malu mau main sana sini) diajakin keluar bareng sama divisi lain, makan...diperhatikan dan nggak seperti atasan di divisiku.
Okey, itu tentang masalaluku di tempat kerja sebelumnya, skarang ditempat yang baru...rekan kantor asikkk banget, kebanyakan masih muda dan berjiwa muda smuanya, bahkan yang tua juga friendly berjiwa petualang dan asik diajak ngobrol. NAHHHH....problem disini adalah atasannya. Why??? Ketika rekan-rekan kantor asik, sepemikiran (walau kadang kala juga meragukan dan nggak setuju sama pendapat mereka) tapi nggak separah sama atasan. Pernah nggasih kalian punya atasan yang bermuka dua? Semacam gila jabatan dan kurang menghargai bagi someone yang NOTHING. Kalo dia punya channel pasti dibaikin, kalo dia biasa aja sebegitu keras usahanya untuk menyingkirkan. Bahkan seringkali, kesalahan yang murni karena atasan, dilimpahkan semua ke bawahan...
Sumpah, jujur ngrasa GAK NYAMAN banget!!!
Mau resign? Ga punya alternatif pekerjaan lain, rasanya kepengen nikah aja HAHAHA
Tapi juga nyari suami nggak segampang nyari baranglah yaa, yang mana asal kita suka langsung comot.Dengan usiaku yang tergolong masih muda, aku pengen berkarir terus-terus dan terus...mumpung single dan belum menikah. Jadi masih belum ada tanggungan rumah tangga.
Jujur, emang udah ngga tahan sama atasanku di tempat kerjaku yang skarang, tapi sayang kerjanya dan nggak berharap dikeluarkan. Apalagi,,,, rumor bakal ada pengurangan pegawai di kantorku :(
Dag dig dug...takut...cemas...tapi cuman bisa berdoa yang terbaik untukku bagaimanapun nanti hasilnya :")
Semoga, aku masih bisa kerja entah dimanapun itu...semoga saja lebih baik dari sini, atau stay disini tapi atasannya pindah... Hehehe

Senin, 16 September 2019

“KEKHUSUSAN TINDAK PIDANA TERORISME DALAM PERATURAN UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003”


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sejak mencuatnya kasus 11 September di Amerika Serikat, Negara-negara di dunia mulai meningkatkan keamanan dan berbagai langkah antisipasi terhadap gerakan terorisme, baik yang datang dari luar negeri maupun dari dalam negeri itu sendiri. Pasca tragedi bom Bali I, tanggal 12 Oktober 2002 yang tercatat, sedikitnya, 202 orang tewas dan 209 orang terluka,Indonesia mulai mengintensifkan penanganan terorisme.
Hal ini diapresiasikan dengan di bentuknnya pasukan Densus 88 Anti terror oleh Mabes POLRI atau pasukan khusus lainnya yang tugas utamanya mengantisipasi dan menggagalkan aksi terorisme di Indonesia. Akhir-akhir ini, modus aksi terorisme mulai beragam, mulai dari bom bunuh diri, bom buku bahkan dengan modus penculikan yang disertai dengan pencucian otak korbannya (brain whasing). Ancaman tersebut bisa terjadi kapan saja dan di mana saja, serta mengancam keselamatan jiwa setiap orang. Saat ini tidak ada tempat yang aman dan dapat dikatakan bebas dari ancaman terorisme.
Istilah teroris oleh para ahli kontraterorisme dikatakan merujuk kepada para pelaku yang tidak tergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal atau tidak menuruti peraturan angkatan bersenjata tersebut. Aksi terorisme juga mengandung makna bahwa serangan-serangan teroris yang dilakukan tidak berprikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi, dan oleh karena itu para pelakunya (teroris) layak mendapat pembalasan yang kejam. Akibat makna-makna negative yang dikandung oleh perkataan “teroris” dan “terorisme”, para teroris umumnya menyebut diri mereka sebagai separatis, pejuang pembebasan, pasukan perang salib, militant, mujahidin, dan lain-lain. Adapun makna sebenarnya dari jihad, mujahidin adalah jauh dari tindakan terorisme yang menyerang penduduk sipil yang tidak terlibat dalam perang. Terorisme sendiri sering tampak dengan mengatasnamakan agama.
Menyadari sedemikian besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh suatu tindak Terorisme, serta dampak yang dirasakan secara langsung oleh Indonesia sebagai akibat dari Tragedi Bom Bali I, merupakan kewajiban pemerintah untuk secepatnya mengusut tuntas Tindak Pidana Terorisme itu dengan memidana pelaku dan aktor intelektual dibalik setiap aksi terorisme tersebut. Hal ini menjadi prioritas utama dalam penegakan hukum.
Untuk melakukan pengusutan, diperlukan perangkat hukum yang mengatur tentang Tindak Pidana Terorisme. Menyadari hal ini dan lebih didasarkan pada peraturan yang ada saat ini yaitu Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP), akhirnya pemerintah menyusun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) nomor 1 tahun 2002, yang pada tanggal 4 April 2003 disahkan menjadi Undang-Undang dengan nomor 15 tahun 2003 Tentang pemberantasanTindak Terorisme
Dengan adanya permasalah mengenai tindak pidana terorisme, maka dengan ini penulis tertarik untuk menyusun makalah dengan judul “ Kekhususan Tindak Pidana Terorisme dalam Peraturan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 “.
B.     Rumusan Masalah
a.       Apakah yang dimaksud dengan terorisme?
b.      Bagaimana kekhususan Undang-undang terorisme?
c.       Bagaimanakah unsur-unsur tindak pidana terorisme yang terkandung dalam Undang Undang Nomor 15 Tahun 2003?
C.    Tujuan Penulisan
a.       Untuk mengetahui maksud dari terorisme.
b.      Untuk mengetahui kekhusuan dari Undang-undang terorisme.
c.       Untuk mengetahui unsur-unsur tindak pidana terorisme.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Terorisme
Definisi terorisme sampai dengan saat ini masih menjadi perdebatan meskipun sudah ada ahli yang merumuskan dan juga dirumuskan di dalam peraturan perundang-undangan. Akan tetapi ketiadaan definisi yang seragam menurut hukum internasional mengenai terorisme tidak serta-merta meniadakan definisi hukum terorisme itu. Masing-masing negara mendefinisikan menurut hukum nasionalnya untuk mengatur, mencegah dan menanggulangi terorisme.[1]
Terorisme merupakan suatu istilah yang digunakan untuk penggunaan kekerasan terhadap penduduk sipil/non kombatan untuk mencapai tujuan politik, dalam skala lebih kecil daripada perang . Dari segi bahasa, istilah teroris berasal dari Perancis pada abad 18. Kata Terorisme yang artinya dalam keadaan teror ( under the terror ), berasal dari bahasa latin ”terrere” yang berarti gemetaran dan ”detererre” yang berarti takut.[2] Istilah terorisme pada awalnya digunakan untuk menunjuk suatu musuh dari sengketa teritorial atau kultural melawan ideologi atau agama yang melakukan aksi kekerasan terhadap publik. Penggunaan istilah teroris meluas dari warga yang tidak puas sampai paada non komformis politik. Aksi terorisme dapat dilakukan oleh individu, sekelompok orang atau negara sebagai alternatif dari pernyataan perang secara terbuka.
Sedangkan menurut  beberapa ahli yang menyumbangkan pemikirannya tentang pengertian terorisme, berikut adalah beberapa di antaranya yang paling populer :
a.       Walter Laqueur (Laqueur, 1977):  terorisme adalah penggunaan kekuatan secara tidak sah untuk mencapai tujuan-tujuan politik. Target terorisme adalah masyarakat sipil yang tidak bersalah/berdosa. Unsur utama terorisme adalah penggunaan kekerasan
  1. James H. Wolfe menjelaskan beberapa karakteristik yang bisa dikategorikan sebagai terorisme, yaitu (Wolfe, 1987):
1.      Tindakan terorisme tidak selamanya harus bermotif politis
2.      Sasaran terorisme dapat berupa sipil (masyarakat, fasilitas umum) maupun non-sipil (pejabat dan petugas negara, fasilitas negara)
3.      Aksi terorisme ditujukan untuk mengintimidasi dan mempengaruhi kebijakan pemerintahan.
4.      Aksi terorisme dilakukan melalui tindakan-tindakan yang tidak menghormati hukum dan etika internasional
  1. C. Manullang: Terorisme adalah suatu cara untuk merebut kekuasaan dari kelompok lain, dipicu oleh banyak hal, seperti; pertentangan (pemahaman) agama, ideologi dan etnis, kesenjangan ekonomi, serta tersumbatnya komunikasi masyarakat dengan pemerintah, atau karena adanya paham separatisme dan ideologi fanatisme.
B.     Kekhususan Undang-undang Terorisme
Ada dua alasan penting mengapa terorisme menjadi musuh bersama bangsa Indonesia :
1.      Keterangan pemerintah tentang diterbitkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
2.      Perpu Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Pemberlakuan Perpu No 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002.
Dewasa ini terorisme mempunyai jaringan yang luas dan bersifat global yang mengancam perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional. Sejak itu pemerintah Indonesia mengeluarkan peraturan pemerintah Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Anti Terorisme. Seiring dengan itu Presiden mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2002, yang menugaskan Menko Polkam untuk melakukan dua hal sebagai berikut :[3]
1.      Merumuskan Kebijakan dan Strategi Nasional Pemberantasan Terorisme.
2.      Mengkoordinasikan semua langkah-langkah operasional pemberantasan terorisme.

Untuk merealisasikan Inpres tersebut dibentuk Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme (DKPT). Kebijakan pemerintah dalam pemberantasan terorisme dititik beratkan kepada dua hal yaitu:
1.      Upaya Penegakkan hukum secara adil dan transparan.
2.      Upaya Counter Radikalisme (Program Deradikalisasi) untuk menetralisir ideologi radikal yang menjadi pemicu utama terjadinya aksi terorisme.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 1 Tahun 2002 yang kemudian disetujui menjadi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 secara spesifik juga memuat perwujudan ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Convention Against Terorism Bombing (1997) dan Convention on the Suppression of Financing Terorism (1997), antara lain memuat ketentuan-ketentuan tentang lingkup yuridiksi yang bersifat transnasional dan internasional serta ketentuan-ketentuan khusus terhadap tindak pidana terorisme internasional. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 juga mempunyai kekhususan, antara lain:
1.      Merupakan ketentuan payung hukum terhadap peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan tindak pidana terorisme.
2.      Memuat ketentuan khusus tentang perlindungan terhadap hak asasi tersangka atau terdakwa yang disebut safe guarding rules.
3.      Di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini juga ditegaskan bahwa tindak pidana yang bermotif politik atau yang bertujuan politik sehingga pemberantasannya dalam wadah kerjasama bilateral dan multilateral dapat dilaksanakan secara lebih efektif
4.      Memuat ketentuan yang memungkinkan Presiden membentuk satuan tugas anti teror dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas publik (sunshine principle) dan atau prinsip pemberantasan waktu efektif (sunset principle) yang dapat mencegah penyalahgunaan wewenang satuan tugas bersangkutan. Memuat ketentuan tentang yuridiksi yang didasarkan kepada asas teritorial, asas ekstrateritorial dan asas nasional aktif sehingga diharapkan dapat secara efektif memiliki daya jangkauan terhadap tindak pidana terorisme.
5.      Memuat ketentuan tentang pendanaan untuk kegiatan teroris sebagai tindak pidana terorisme sehingga sekaligus juga membuat Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
6.      Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini tidak berlaku bagi kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum, baik melalui unjuk rasa, protes, maupun kegiatan-kegiatan yang bersifat advokasi.
7.      Di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini tetap dipertahankan ancaman sanksi pidana yang minimum khusus untuk memperkuat fungsi penjeraan terhadap para pelaku tindak pidana terorisme.
8.      Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini merupakan ketentuan khusus yang diperkuat sanksi pidana dan sekaligus merupakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang bersifat koordinatif (coordinating act) dan berfungsi memperkuat ketentuan-ketentuan di dalam peraturan perundangan lainnya yang berkaitan dengan pemberantasan terorisme.
Sebagai undang-undang pidana yang bersifat khusus, undang-undang  ini berisi ketentuan ketentuan mengenai terorisme yang sudah dijelaskan diatas, namun disisilain ada pengecualian dari ketentuan-ketentuan hukum acara pidana yang diatur dalam KUHAP. Pengecualian tersebut :
a.       Untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan, penyidik diberi wewenang untuk melakukan penahanan terhadap tersangka paling lama 6 (enam) bulan.
b.      Untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap laporan intelijen.
c.       Penetapan bahwa sudah dapat atau diperoleh bukti permulaan yang harus dilakukan proses pemeriksaan oleh Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan Negeri.
d.      Proses pemeriksaan yang dimaksud dilaksanakan secara tertutup dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari.
e.       Jika dalam pemeriksaan ditetapkan adanya bukti permulaan yang cukup, maka Ketua Pengadilan Negeri segera memerintahkan dilaksanakan penyidikan.
f.       Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana terorisme berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) untuk paling lama 7x24 (tujuh kali dua puluh empat) jam.
g.      Penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang memerinntahkan kepada bank dan lembaga jasa keuangan untuk melakukan pemblokiran terhadap harta kekayaan setiap orang yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana terorisme dan/atau tindak pidana yang berkaitan dengan terorisme.
h.      Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa hadirnya terdakwa.
i.        Alat bukti dalam perkara tindak pidana terorisme, selain yang dimaksud dalam Hukum Acara Pidana, juga alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu, dan data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada; tulisan, suara, atau gamabr, peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; huruf, tanda, angka, simbol, atau petforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
j.        Penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang memerintahkan kepada bank dan lembaga jasa keuangan untuk melakukan pemblokiran terhadap harta kekayaan setiap orang yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana terorisme dan/atau tindak pidana yang berkaitan dengan terorisme.
k.      Hak korban atau ahli warisnya akibat tindak pidana terorisme, mendapatkan kompensasi atau restitusi.
Penggunaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 didasarkan pada pertimbangan bahwa terjadinya terorisme di berbagai tempat di Indonesia telah menimbulkan kerugian baik materil maupun immateril serta menimbulkan ketidak amanan bagi masyarakat oleh karena itu setelah menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, Undang-Undang tersebut telah menjadi ketentuan payung dan bersifat koordinatif (coordinating act) terhadap peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana terorisme.Karena terorisme merupakan kejahatan luar biasa (Extra Ordinary crime) yang membutuhkan penanganan dengan mendayagunakan cara-cara luar biasa (Extra Ordinary Measure).
Menurut Barda Nawawi Arief, kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan (politik kriminal) pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfere) Oleh karena itu dapatlah dikatakan bahwa tujuan akhir dari politik kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.
Menurut Barda Nawawi Arief, kebijakan penanggulangan kejahatan yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan secara garis besar meliputi:

a.       Perencanaan atau kebijakan tentang perbuatan-perbuatan terlarang apa yang akan ditanggulangi karena dipandang membahayakan atau merugikan.
b.      Perencanaan atau kebijakan tentang sanksi apa yang dapat dikenakan terhadap pelaku perbuatan terlarang itu (baik berupa pidana atau tindakan) dan sistem penerapan.
c.       Perencanaan atau kebijakan tentang prosedur atau mekanisme peradilan pidana dalam rangka proses penegakan hukum pidana. Kebijakan penegakan hukum pidana merupakan rangkaian proses yang terdiri dari 3 (tiga) tahap kebijakan, yaitu tahap kebijakan legislatif, tahap kebijakan yudikatif dengan aplikatif dan tahap kebijakan eksekutif dengan administratif.

Dalam menghadapi terorisme di Indonesia Romly Atmasasmita mengemukakan dengan mempertimbangkan latar belakang filosofis, sosiologis dan yuridis diperlukan suatu perangkat perundang-undangan yang memiliki visi dan misi serta terkandung prinsip-prinsip hukum yang memadai sehingga dapat dijadikan penguat bagi landasan hukum bekerjanya sistem peradilan pidana di mulai dari tingkat penyidikan sampai pada pemeriksaan di sidang pengadilan.
            Pembentukan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia, merupakan kebijakan dan langkah antisipatif yang bersifat proaktif yang di landaskan kepada kehati-hatian dan bersifat jangka panjang, karena masyarakat Indonesia adalah masyarakat multi etnik dan mendiami ratusan ribu pulau yang tersebar di seluruh wilayah nusantara, letaknya ada yang berbatasan dengan negara lain dan oleh karenanya seluruh komponen bangsa Indonesia berkewajiban memelihara dan meningkatkan kewaspadaan akan adanya segala bentuk kegiatan tindak pidana terorisme, disamping itu konflik yang sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia berakibat sangat merugikan kehidupan bangsa Indonesia yang menyebabkan kemunduran peradaban yang pada akhirnya Indonesia akan dapat menjadi tempat subur berkembangnya terorisme baik yang dilakukan orang Indonesia sendiri maupun orang asing.
            Ditinjau dari aspek yuridis, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 mempunyai kekhususan meliputi :
1.      sebagai ketentuan payung terhadap peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana terorisme juga bersifat ketentuan khusus yang diperkuat sanksi pidana dan sekaligus koordinatif dan berfungsi memperkuat ketentuan peraturan perundang-undangan.
2.      adanya perlindungan terhadap hak asasi tersangka atau terdakwa yang disebut”safe guarding rules
3.      adanya pengecualian bahwa tindak pidana terorisme dikecualikan dari tindak pidana politik atau tindak pidana yang bermotif politik atau tindak pidana yang bertujuan politik sehingga pemberantasannya dalam wadah kerja sama bilateral dan multilateral dapat dilaksanakan secara lebih efektif.
4.      ketentuan undang-undang ini memberi kemungkinan Presiden membentuk satuan tugas anti teror dengan berlandaskan prinsip transparansi dan akuntabilitas publik (sun shine principle) dan atau prinsip pembatasan waktu efektif (sunset principle).
5.      adanya kualifikasi bahwa pendanaan untuk kegiatan terorisme sebagai tindak pidana terorisme.

Dikenal, diakui dan dipertahankannya ancaman sanksi pidana dengan minimum khusus untuk memperkuat fungsi penjeraan terhadap pelaku tindak pidana terorisme.

C.    Unsur Tindak Pidana Terorisme
Kekerasan yang dilakukan oleh kelompok teroris, merupakan tindak pidana terorisme. Tindak pidana terorisme tersebut di atas terdapat dalam rumusan Pasal 6 dan 7 UU No 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dari kedua pasal tersebut dapat disimpulkan , bahwa suatu kelompok dapat dikatakan sebagai kelompok teroris apabila memenuhi unsur-unsur :
  1. Mengeksploitasi kelemahan manusia secara sistematik, yaitu kengerian atau ketakutan yang melumpuhkan.
  2. Adanya penggunaan ancaman atau penggunaan kekerasan fisik.
  3. Adanya tujuan politik yang ingin dicapai.
  4. Adanya sasaran yang umumnya masyarakat sipil.
5.      Dilakukannya perencanaan dan persiapan secara rasional.

Tindak pidana terorisme yang dirumuskan dalam pasal 6 UU no 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme , dapat dikualifikasikan kedalam delik materil , sedangkan yang mengenai delik formil tindak pidana terorisme terdapat dalam Pasal 7 sampai dengan pasal 12 UU no 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme.
Perbuatan yang dilarang dan dikategorikan sebagai kegiatan terorisme adalah bermaksud untuk melakukan perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan di mana perbuatan tersebut dapat menimbulkan suasana teror di tengah-tengah masyarakat.
Delik formil lainnya, yang menyangkut suatu kejahatan yang dilakukan terhadap dan di dalam pesawat udara (in flight) yang terdapat pada pasal 8 UU no 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme. Lebih lanjut , dipertegas dalam perumusan pasal 9 UU no 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme tersebut adalah :
  1. Setiap orang (kelompok/korposasi);
  2. Melawan hukum
  3. Memasukkan ke Indonesia;
Membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan,menguasai,membawa,mempunyai. Ada pula delik formil lainnya yang menitik tekankan pada perbuatan yang dilarang kaitannya dengan tindak pidana terorisme yang sering disebut sebagai technological terorism (tindak pidana terorisme yang dalam perbuatan kejahatannya menggunakan teknologi.
Dan seseorang juga dianggap melakukan Tindak Pidana Terorisme, berdasarkan ketentuan pasal 8, 9, 10, 11 dan 12 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dari banyak definisi yang dikemukakan oleh banyak pihak, yang menjadi ciri dari suatu Tindak Pidana Terorisme adalah:
  1. Adanya rencana untuk melaksanakan tindakan tersebut.
  2. Dilakukan oleh suatu kelompok tertentu.
  3. Menggunakan kekerasan.
  4. Mengambil korban dari masyarakat sipil, dengan maksud mengintimidasi pemerintah.
  5. Dilakukan untuk mencapai pemenuhan atas tujuan tertentu dari pelaku, yang dapat berupa motif sosial, politik ataupun agama.



BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

Terorisme merupakan suatu istilah yang digunakan untuk penggunaan kekerasan terhadap penduduk sipil/non kombatan untuk mencapai tujuan politik, dalam skala lebih kecil daripada perang. . Kata Terorisme yang artinya dalam keadaan teror ( under the terror ), berasal dari bahasa latin ”terrere” yang berarti gemetaran dan ”detererre” yang berarti takut. Sehingga dapat disimpulakn bahwa terorisme adalah seseorang atau kelompok yang melakukan kekerasan dan kejahatan terhadap penduduk dengan cara meneror untuk mencapai suatu kepentingan.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 mempunyai kekhususan, antara lain:
a.       Merupakan ketentuan payung hukum terhadap peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan tindak pidana terorisme.
b.      Memuat ketentuan khusus tentang perlindungan terhadap hak asasi tersangka atau terdakwa yang disebut safe guarding rules.
c.       Di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini juga ditegaskan bahwa tindak pidana yang bermotif politik atau yang bertujuan politik sehingga pemberantasannya dalam wadah kerjasama bilateral dan multilateral dapat dilaksanakan secara lebih efektif
d.      Memuat ketentuan yang memungkinkan Presiden membentuk satuan tugas anti teror dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas publik (sunshine principle) dan atau prinsip pemberantasan waktu efektif (sunset principle) yang dapat mencegah penyalahgunaan wewenang satuan tugas bersangkutan. Memuat ketentuan tentang yuridiksi yang didasarkan kepada asas teritorial, asas ekstrateritorial dan asas nasional aktif sehingga diharapkan dapat secara efektif memiliki daya jangkauan terhadap tindak pidana terorisme.
e.       Memuat ketentuan tentang pendanaan untuk kegiatan teroris sebagai tindak pidana terorisme sehingga sekaligus juga membuat Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
f.       Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini tidak berlaku bagi kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum, baik melalui unjuk rasa, protes, maupun kegiatan-kegiatan yang bersifat advokasi.
g.      Di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini tetap dipertahankan ancaman sanksi pidana yang minimum khusus untuk memperkuat fungsi penjeraan terhadap para pelaku tindak pidana terorisme.
h.      Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini merupakan ketentuan khusus yang diperkuat sanksi pidana dan sekaligus merupakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang bersifat koordinatif (coordinating act) dan berfungsi memperkuat ketentuan-ketentuan di dalam peraturan perundangan lainnya yang berkaitan dengan pemberantasan terorisme.
Dari aspek yuridis, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 mempunyai kekhususan meliputi :
a.       sebagai ketentuan payung terhadap peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana terorisme juga bersifat ketentuan khusus yang diperkuat sanksi pidana dan sekaligus koordinatif dan berfungsi memperkuat ketentuan peraturan perundang-undangan.
b.      adanya perlindungan terhadap hak asasi tersangka atau terdakwa yang disebut”safe guarding rules
c.       adanya pengecualian bahwa tindak pidana terorisme dikecualikan dari tindak pidana politik atau tindak pidana yang bermotif politik atau tindak pidana yang bertujuan politik sehingga pemberantasannya dalam wadah kerja sama bilateral dan multilateral dapat dilaksanakan secara lebih efektif.
d.      ketentuan undang-undang ini memberi kemungkinan Presiden membentuk satuan tugas anti teror dengan berlandaskan prinsip transparansi dan akuntabilitas publik (sun shine principle) dan atau prinsip pembatasan waktu efektif (sunset principle).
e.       adanya kualifikasi bahwa pendanaan untuk kegiatan terorisme sebagai tindak pidana terorisme.

3.    Unsur–unsur Tindak Pidana Terorisme dapat disimpulkan dari pasal-pasal tersebut yakni :
a.       Adanya rencana untuk melaksanakan tindakan tersebut.
b.      Dilakukan oleh suatu kelompok tertentu.
c.       Menggunakan kekerasan.
d.      Mengambil korban dari masyarakat sipil, dengan maksud mengintimidasi pemerintah.
e.       Dilakukan untuk mencapai pemenuhan atas tujuan tertentu dari pelaku, yang dapat berupa motif sosial, politik ataupun agama.



DAFTAR PUSTAKA
Buku
Bambang Abimanyu. Teror Bom di Indonesia, Jakarta: Grafindo.2005.hlm 62
Indriyanto Seno Adji, Terorisme dan HAM dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia.Jakarta: O.C. Kaligis & Associates.2001.hlm 17

Renggong, Ruslan. 2016. Hukum Pidana Khusus Meemahami Delik-Delik di Luar KUHP. Jakarta: Prenadamedia Group.
Susilo Bambang Yudhoyono, Selamatkan Negeri Kita Dari Terorisme, Kementrian Koordinator Polkam, 2002. 
Website
https://damailahindonesiaku.com/terorisme/penegertian-terorisme/





[1] Indriyanto Seno Adji, Terorisme dan HAM dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia.Jakarta: O.C. Kaligis & Associates.2001.hlm 17
[2] Bambang Abimanyu. Teror Bom di Indonesia, Jakarta: Grafindo.2005.hlm 62
[3] Susilo Bambang Yudhoyono, Selamatkan Negeri Kita Dari Terorisme, Kementrian Koordinator Polkam, 2002.