Berikut adalah
perbedaan antara konsep KUHP negara Indonesia dengan Belanda:
A.
KUHP di
Indonesia
Indonesia juga mengadopsi pelaksanaan hukum Kasus (Common Law system)
sebagaimana terjadi di Negara-negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon.
Ini dapat kita lihat di dalam Undang-undang No 23 Tahun 1997 Tentang Lingkungan
Hidup, UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dan UU No. 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen. System hukum Anglo Saxon menawarkan perwakilan kelompok
(class action) dan hak gugat organisasi (legal standing). UU ini juga
menawarkan proses penyelesaian mediasi dan arbitrasi. Juga mengatur ganti rugi.
Indonesia juga merumuskan sistem hukum juga terjadi pada pengakuan adanya
hukum agama terutama Hukum Islam (Islam Law - Kompilasi Hukum Islam) yang
termaktub dalam pelaksanaan Peradilan Agama sebagaimana diatur didalam
Undang-undang No. 7 Tahun 1989. Juga adanya pengakuan yang meletakkan hukum
adat (Customary Law System) dalam merumuskan sistem hukum Nasional. Dari
paparan singkat inilah, penulis hanyalah memaparkan bahwa walaupun Indonesia
menganut sistem hukum Eropa Kontinental, namun dalam dimensi yang lain juga
mengadopsi sistem hukum yang dikenal dalam sistem hukum Anglo Saxon, pengakuan
hukum agama terutama Hukum Islam dan pengakuan untuk meletakkan hukum adat
dalam merumuskan sistem hukum nasional
Akan tetapi dalam sistem hukum yang terdapat dala Kitab Undang-undang hukum
pidana (KUHP) berbeda dengan penerapan sistem anglo saxon, sebab Indonesia
mengadopsi sistem Civil law hal ini ditandai dengan adanya kodifikasi hukum
berupa KUHP, yang terdiri atas 569 pasal yang dapat dibagi menjadi:
Buku I : memuat mengenai ketentuan umum (Algemene
Leersstrukken) Pasal 1-103
Buku II : mengatur
tentang tindak pidana kejahtan (Misdrijven) – Pasal 104 – 488
Buku III : mengatur
tentang tindak pidana pelanggaran (overstredingen) – Pasal 489 – 569
Sistem hukuman
dalam KUHP tercantum dalam pasal 10 yang menyatakan bahwa hukuman yang dapat
dikenakan kepada seseorang pelaku tindak pidana sebagai berikut:
1. Hukuman pokok (Hoofd straffen)
a. Hukuman mati
b. Hukuman penjara
c. Hukuman kurungan
d. Hukuman denda
2. Hukuman tambahan (Bijkomende straffen)
a. Pencabutan beberapa hak tertentu
b. Perampasan barang-barang tertentu
c. Pengumuman putusan hakim
Sub-sub sistem hukum seperti disebutkan dalam ketentuan itu kelihatannya sederhana
sekali. Akan tetapi kalau diperhatikan benar-benar maka kesederhanaannya
menjadi kurang. Hal ini karena sistemukum yang kelihatan sederhana dalam
pelaksanaannya kurang memperhatikan sifat objektif hukuman yang sesuai dengan
ilmu pengetahuan. Bahkan hanya dilihat kegunaan untuk menghukum pelaku tindak
pidanyanya saja. Hal inilah yang kemudian sering menimbulkan pertentangan
pendapat antar para ahli hukum sarjana hukum. Alasan
pemakaian hukuman mati dalam KUHP ini dikarenakan keadaan di Indonesia dengan
ribu-ribu pulau, beraneka ragam suku bangsa, tenaga kepolisian kurang mencukupi
jadi perlu pidana yang berat.
B.
KUHP di
Belanda
Sistem Hukum Belanda menganut sistem kodifikasi sebagaimana kita
mengenalnya dengan beberapa kitabnya. Sistematika yang dipakai merupakan adopsi
hukum Napoleon. Tidak banyak perbedaan perbedaan antara system hukum Indonesia
dengan Belanda. Apabila melihat secara produk hukum tersebut maka Belanda yang
menganut sistem hukum Eropa Kontinental mengakibatkan Indonesia dapat dikatakan
juga menganut sistem hukum Eropa Kontinental (civil Law System).
Hukum Belanda berakar dari tradisi-tradisi hukum Indo-Jerman dan Romawi dan
lewat berbagai Revolusi, mulai dari “Papal Revolution” sampai Revolusi Kaum
borjuis-liberal di Perancis pada akhir abad ke 19-an. Dalam tata hukum Belanda,
kodifikasi dan hukum kodifikasi dikenal pada masa ekspansi kekuasaan Napoleon
yang menyebabkan negeri Belanda bagian dan Empinium Perancis. Pada tahun 1810
Kitab hukum yang terkenal dengan nama Codes Napoleon dalam hukum perdata (Code
Civil), hukum dagang (Code Commerce), hukum pidana (Code Penal) diundangkan di
negeri tersebut. Ketika Napoleon jatuh, Kodifikasi tetap dinyatakan berlaku.
Jenis pidana yang tercantum dalam Pasal 9 KUHP belanda tidak dicantumkan
hukuman mati. Dan terdapat pidana tambahan yang ada dalam KUHP belanda ini
yakni pada Pasal 10 yaitu penempatan di tempat kerja negara.
KUHP belanda terus menerus diubah sesuai dengan tuntutan kemajuan teknologi
dengan penghapusan (deskriminalisasi) misal delik mukah (overspel) telah
dihapus kemudian perubahan rumusan delik, misal Pasal 239 yang sepadan dengan
Pasal 281 KUHP. Kata-kata “di depan umum” diganti dengan”di tempat yang menjadi
lalu lintas umum” dengan analogi bahwa di dalam kamar tidur rumah sendiri
bertelanjang dengan membuka jendela kamar yang menghadap ke jalan umum, berarti
di depan umum karena dapat dilihat oleh orang yang lewat jalan tersebut. Tetapi
jelas tidak lagi dapat dipidana di belanda perbuatan semacam itu, karena tempat
tidur rumah sendiri bukanlah tempat yang menjadi lalu lintas umum.
Sistem denda dalam KUHP belanda didasarkan pada kategori, dari kategori
satu sampai dengan enam. Dalam kategori tersebut dicantumkan maksimum denda.
Dicantumkan dalan Buku I yaitu Pasal 23
Korporasi (badan hukum) juga dicantumkan ke dalam KUHP belanda sejak Tahun
1976 yang dapat dijatuhi hukuman berupa hukuman denda, karena tidak mungkin
dipakai hukuman penjara.
Dicantumkannya sistem pidana alternatif ada juga alternatif/kumulatif denda
pada semua perumusan delik, termasuk delik terhadap keamanan negara, tidak
terkecuali makar terhadap negara
Karena pengaruh dari hukum pidana modern, yang mengatakan bahwa jika suatu
perbuatan merupakan delik tetapi secara sosial kecil artinya maka tidaklah
perlu dijatuhkan pidana atau tindakan, menjelma dalam sisipan KUHP belanda 1984
Pasal 8a. “jika hakim menganggap patut berhubung dengan kecilnya arti suatu
perbuatan, kepribadian pelaku atau keadaan-keadaan pada waktu perbuatan
dilakukan, begitu pula sesudah perbuatan dilakukan, ia menentukan dalam putusan
bahwa tidak ada pidana atau tindakan yang akan dikenakan”
KESIMPULAN
Terdapat
perbedaan antara KUHP Indonesia dengan KUHP belanda padahal jika ditilik dari
historisnya KUHP Indonesia (WvS) mengadopsi dari KUHP Belanda(Ned. MvS)
sehingga secara otomatis harusnya tidak ada perbedaan yang signifikan antara
Belanda dengan Indonesia, akan tetapi setelah dipelajari dan dikomparasikan
terdapat sekali perbedaan, sebab KUHP belanda dirubah dengan mereduksi
hukum-hukum baru yang lebih update dan lebih fleksibel terhadap keadaan dan
tidak kaku, sedangkan Indonesiabelum mampu untuk merubah hukum yang dipakai
dari KUHP Belanda hingga sekarang, jadi Indonesia masih mencerminkan hukum yang
pertama kali dibuat oleh Belanda dan sama sekali tidak beradaptasi dengan
masyarakat pada umumnya, adapun perbedaannya adalah sebagai berikut:
No.
|
Perbedaan
|
KUHP Indonesia
|
KUHP Belanda
|
1
|
Penggunaan subjek
hukum korporasi
|
Belum
dicantumkan
|
Sudah
dicantumkan sejak tahun 1976
|
2
|
Sistem denda
|
Di taruh pada
setiap Pasal tindak Pidana
|
Dirumuskan
menjadi beberapa kategori, dan pada pasalnya hny disebutkan “denda untuk
kategori”
|
3
|
Hukuman pidana
|
Dicantumkan
hukuman mati dalam pasal 10
|
Tidak lagi
dipakai dan tidak dicantumkan, dalam hukuman tambahan dicantumkan hukuman
penempatan kerja di Negara
|
4
|
Sesuai dengan
kebutuhan masyarakat
|
Tidak sebab
walaupun perbuatan pidana sekecil apapun itu akan tetap dijatuhi hukum pidana
|
Iya, sebab
pada Pasal 9a dijelaskan bahwa delik kecil tidak perlu dijatuhi pidana atau
tindakan
|
5
|
Sistem
pemidanaan
|
Alternatif
|
Alternatif,
alternatif kumulatif dan kumulatif
|
Hal ini membuktikan bahwa Indonesia belum mampu untuk menjadi negara yang
independent, walaupun secara de-juro dan de-facto Indonesia sudah dapat
dinyatakan sebagai negara yang merdeka. Ketidak mampuan Indonesia dalam
mengikuti perkembangan-perkembangan hukum yang maju belum dapat dilihat,
terbuti bahwa KUHP Indonesia masih menerapkan KUHP lama Belanda yang sudah
tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan tidak sesuai dengan
kebutuhan-kebutuhan masyarakat.