Sabtu, 01 April 2017

Perbandingan KUHP Indonesia dan Belanda

Berikut adalah perbedaan antara konsep KUHP negara Indonesia dengan Belanda:
A.    KUHP di Indonesia
Indonesia juga mengadopsi pelaksanaan hukum Kasus (Common Law system) sebagaimana terjadi di Negara-negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon. Ini dapat kita lihat di dalam Undang-undang No 23 Tahun 1997 Tentang Lingkungan Hidup, UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dan UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. System hukum Anglo Saxon menawarkan perwakilan kelompok (class action) dan hak gugat organisasi (legal standing). UU ini juga menawarkan proses penyelesaian mediasi dan arbitrasi. Juga mengatur ganti rugi.
Indonesia juga merumuskan sistem hukum juga terjadi pada pengakuan adanya hukum agama terutama Hukum Islam (Islam Law - Kompilasi Hukum Islam) yang termaktub dalam pelaksanaan Peradilan Agama sebagaimana diatur didalam Undang-undang No. 7 Tahun 1989. Juga adanya pengakuan yang meletakkan hukum adat (Customary Law System) dalam merumuskan sistem hukum Nasional. Dari paparan singkat inilah, penulis hanyalah memaparkan bahwa walaupun Indonesia menganut sistem hukum Eropa Kontinental, namun dalam dimensi yang lain juga mengadopsi sistem hukum yang dikenal dalam sistem hukum Anglo Saxon, pengakuan hukum agama terutama Hukum Islam dan pengakuan untuk meletakkan hukum adat dalam merumuskan sistem hukum nasional
Akan tetapi dalam sistem hukum yang terdapat dala Kitab Undang-undang hukum pidana (KUHP) berbeda dengan penerapan sistem anglo saxon, sebab Indonesia mengadopsi sistem Civil law hal ini ditandai dengan adanya kodifikasi hukum berupa KUHP, yang terdiri atas 569 pasal yang dapat dibagi menjadi:
Buku I : memuat mengenai ketentuan umum (Algemene Leersstrukken) Pasal 1-103
Buku II : mengatur tentang tindak pidana kejahtan (Misdrijven) – Pasal   104 – 488
Buku III : mengatur tentang tindak pidana pelanggaran (overstredingen) – Pasal 489 – 569
Sistem hukuman dalam KUHP tercantum dalam pasal 10 yang menyatakan bahwa hukuman yang dapat dikenakan kepada seseorang pelaku tindak pidana sebagai berikut:
1.      Hukuman pokok (Hoofd straffen)
a.       Hukuman mati
b.      Hukuman penjara
c.       Hukuman kurungan
d.      Hukuman denda
2.      Hukuman tambahan (Bijkomende straffen)
a.       Pencabutan beberapa hak tertentu
b.      Perampasan barang-barang tertentu
c.       Pengumuman putusan hakim
Sub-sub sistem hukum seperti disebutkan dalam ketentuan itu kelihatannya sederhana sekali. Akan tetapi kalau diperhatikan benar-benar maka kesederhanaannya menjadi kurang. Hal ini karena sistemukum yang kelihatan sederhana dalam pelaksanaannya kurang memperhatikan sifat objektif hukuman yang sesuai dengan ilmu pengetahuan. Bahkan hanya dilihat kegunaan untuk menghukum pelaku tindak pidanyanya saja. Hal inilah yang kemudian sering menimbulkan pertentangan pendapat antar para ahli hukum sarjana hukum. Alasan pemakaian hukuman mati dalam KUHP ini dikarenakan keadaan di Indonesia dengan ribu-ribu pulau, beraneka ragam suku bangsa, tenaga kepolisian kurang mencukupi jadi perlu pidana yang berat.
B.     KUHP di Belanda
Sistem Hukum Belanda menganut sistem kodifikasi sebagaimana kita mengenalnya dengan beberapa kitabnya. Sistematika yang dipakai merupakan adopsi hukum Napoleon. Tidak banyak perbedaan perbedaan antara system hukum Indonesia dengan Belanda. Apabila melihat secara produk hukum tersebut maka Belanda yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental mengakibatkan Indonesia dapat dikatakan juga menganut sistem hukum Eropa Kontinental (civil Law System).
Hukum Belanda berakar dari tradisi-tradisi hukum Indo-Jerman dan Romawi dan lewat berbagai Revolusi, mulai dari “Papal Revolution” sampai Revolusi Kaum borjuis-liberal di Perancis pada akhir abad ke 19-an. Dalam tata hukum Belanda, kodifikasi dan hukum kodifikasi dikenal pada masa ekspansi kekuasaan Napoleon yang menyebabkan negeri Belanda bagian dan Empinium Perancis. Pada tahun 1810 Kitab hukum yang terkenal dengan nama Codes Napoleon dalam hukum perdata (Code Civil), hukum dagang (Code Commerce), hukum pidana (Code Penal) diundangkan di negeri tersebut. Ketika Napoleon jatuh, Kodifikasi tetap dinyatakan berlaku.
Jenis pidana yang tercantum dalam Pasal 9 KUHP belanda tidak dicantumkan hukuman mati. Dan terdapat pidana tambahan yang ada dalam KUHP belanda ini yakni pada Pasal 10 yaitu penempatan di tempat kerja negara.
KUHP belanda terus menerus diubah sesuai dengan tuntutan kemajuan teknologi dengan penghapusan (deskriminalisasi) misal delik mukah (overspel) telah dihapus kemudian perubahan rumusan delik, misal Pasal 239 yang sepadan dengan Pasal 281 KUHP. Kata-kata “di depan umum” diganti dengan”di tempat yang menjadi lalu lintas umum” dengan analogi bahwa di dalam kamar tidur rumah sendiri bertelanjang dengan membuka jendela kamar yang menghadap ke jalan umum, berarti di depan umum karena dapat dilihat oleh orang yang lewat jalan tersebut. Tetapi jelas tidak lagi dapat dipidana di belanda perbuatan semacam itu, karena tempat tidur rumah sendiri bukanlah tempat yang menjadi lalu lintas umum.
Sistem denda dalam KUHP belanda didasarkan pada kategori, dari kategori satu sampai dengan enam. Dalam kategori tersebut dicantumkan maksimum denda. Dicantumkan dalan Buku I yaitu Pasal 23
Korporasi (badan hukum) juga dicantumkan ke dalam KUHP belanda sejak Tahun 1976 yang dapat dijatuhi hukuman berupa hukuman denda, karena tidak mungkin dipakai hukuman penjara.
Dicantumkannya sistem pidana alternatif ada juga alternatif/kumulatif denda pada semua perumusan delik, termasuk delik terhadap keamanan negara, tidak terkecuali makar terhadap negara
Karena pengaruh dari hukum pidana modern, yang mengatakan bahwa jika suatu perbuatan merupakan delik tetapi secara sosial kecil artinya maka tidaklah perlu dijatuhkan pidana atau tindakan, menjelma dalam sisipan KUHP belanda 1984 Pasal 8a. “jika hakim menganggap patut berhubung dengan kecilnya arti suatu perbuatan, kepribadian pelaku atau keadaan-keadaan pada waktu perbuatan dilakukan, begitu pula sesudah perbuatan dilakukan, ia menentukan dalam putusan bahwa tidak ada pidana atau tindakan yang akan dikenakan

KESIMPULAN
Terdapat perbedaan antara KUHP Indonesia dengan KUHP belanda padahal jika ditilik dari historisnya KUHP Indonesia (WvS) mengadopsi dari KUHP Belanda(Ned. MvS) sehingga secara otomatis harusnya tidak ada perbedaan yang signifikan antara Belanda dengan Indonesia, akan tetapi setelah dipelajari dan dikomparasikan terdapat sekali perbedaan, sebab KUHP belanda dirubah dengan mereduksi hukum-hukum baru yang lebih update dan lebih fleksibel terhadap keadaan dan tidak kaku, sedangkan Indonesiabelum mampu untuk merubah hukum yang dipakai dari KUHP Belanda hingga sekarang, jadi Indonesia masih mencerminkan hukum yang pertama kali dibuat oleh Belanda dan sama sekali tidak beradaptasi dengan masyarakat pada umumnya, adapun perbedaannya adalah sebagai berikut:
No.
Perbedaan
KUHP Indonesia
KUHP Belanda
1
Penggunaan subjek hukum korporasi
Belum dicantumkan
Sudah dicantumkan sejak tahun 1976
2
Sistem denda
Di taruh pada setiap Pasal tindak Pidana
Dirumuskan menjadi beberapa kategori, dan pada pasalnya hny disebutkan “denda untuk kategori”
3
Hukuman pidana
Dicantumkan hukuman mati dalam pasal 10
Tidak lagi dipakai dan tidak dicantumkan, dalam hukuman tambahan dicantumkan hukuman penempatan kerja di Negara
4
Sesuai dengan kebutuhan masyarakat
Tidak sebab walaupun perbuatan pidana sekecil apapun itu akan tetap dijatuhi hukum pidana
Iya, sebab pada Pasal 9a dijelaskan bahwa delik kecil tidak perlu dijatuhi pidana atau tindakan
5
Sistem pemidanaan
Alternatif
Alternatif, alternatif kumulatif dan kumulatif

Hal ini membuktikan bahwa Indonesia belum mampu untuk menjadi negara yang independent, walaupun secara de-juro dan de-facto Indonesia sudah dapat dinyatakan sebagai negara yang merdeka. Ketidak mampuan Indonesia dalam mengikuti perkembangan-perkembangan hukum yang maju belum dapat dilihat, terbuti bahwa KUHP Indonesia masih menerapkan KUHP lama Belanda yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan tidak sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat.

Perbandingan Pengangkatan Anak dalam KUHPerdata, KHI, dan Hukum Adat

Perbandingan pengangkatan anak menurut KUHPerdata, KHI, dan Hukum Adat

No
Aspek
KUHPerdata
KHI
Adat
1.
Pengertian
KUHPerdata tidak mengenal pengangkatan anak, yang diatur adalah anak diluar kawin yaitu pada Bab XII bagian ke III pasal 280-290 KUHPerdata. Namun ketentuan ini tidak ada hubungannya dengan pengangkatan anak karena pada asasnya KUHPerdata tidak mengenal pengangkatan anak.
Pasal 171 huruf (g)
Kompilasi Hukum Islam
Anak yang dalam hal
pemeliharaan untuk hidupnya
sehari-hari, biaya pendidikan
dan sebagainya beralih
tangung jawabnya dari orang
tua asal kepada orang tua
angkatnya berdasarkan
putusan pengadilan
Anak angkat sebagai anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orang tua angkat dengan resmi menurut hukum adat setempat, dikarenakan tujuan untuk kelangsungan keturunan atau pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga
2.
Tujuan
Agar anak angkat mendapatkan penghidupan yang lebih layak di masa yang akan datang
Kepentingan dan
kesejahteraan anak

Anak dapat menolong di hari tua dan menyambung keturunan bagi yang tidak mempunyai anak
3.
Syarat
Dapat diajukan permohonan pengesahan atau pengangkatan anak. Langkah yang harus diambil agar anak angkat mempunyai kekuatan hukum:
1.Pihak yang dapat mengajukan adopsi adalah pasangan suami istri, orangtua tunggal.

2.Isi permohonan yang diajukan memuat motivasi mengangkat anak, yang semata-mata berkaitan atau demi masa depan anak; penggambaran kemungkinan kehidupan anak tersebut di masa yang akan datang.
3.Membawa 2orang saksi yang mengetahui seluk beluk pengangkatan anak tersebut. 2orang saksi tersebut harus orang yang tahu betul kondisi calon orangtua angkat dan memastikan bahwa calon orangtua angkat akan betul memelihara anak tersebut dengan baik.

4.Melakukan pencatatan di kantor Catatan Sipil, setelah permohonan disetujui pengadilan, akan menerima salinan Keputusan Pengadilan mengenai pengadopsian anak. Salinan tersebut harus dibawa ke kantor capil untuk menambahkan keterangan dalam akte kelahirannya, dalam akte tersebut dinyatakan bahwa anak tersebut telah diadopsi.
Prosedur yang biasa
berlaku di Pengadilan Agama sebelum lahirnya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, dalam mengajukan perkara pengangkatan anak, yakni calon orang tua
angkat mengajukan perkara permohonan pengangkatan anak sebagaimana lazimnya perkara volunter. Di Pengadilan Agama diproses sesuai dengan hukum acara yang berlaku sampai keluar Penetapan Pengadilan Agama. Sebagai rujukan
dalam acara pemeriksaan dan bentuk penetepan dari permohonan pengangkatan anak bisa dipedomani SEMA Nomor 2 Tahun 1979 jo SEMA Nomor 6 Tahun
1983.

1. Tidak memutuskan
hubungan darah antara
anak yang diangkat dengan orang tua biologis dan keluarga.

2. Anak angkat tidak
berkedudukan sebagai
pewaris dari orang tua
angkat, melainkan tetap
sebagai pewaris dari orang tua kandungnya, demikian juga orang tua angkat tidak berkedudukan sebagai pewaris dari anak
angkatnya.

3. Anak angkat tidak boleh mempergunakan nama orang tua angkatnya secara langsung kecuali sekedar sebagai tanda pengenal alamat.

4 Orang tua angkat tidak
dapat bertindak sebagai
wali dalam perkawinan
terhadap anak angkatnya
Salah satu contoh di Pontianak, syarat-syarat untuk dapat mengangkat anak adalah:
1.Disaksikan oleh pemuka-pemuka adat.
2.Disetujui oleh kedua belah pihak, yaitu orang tua kandung dan orang tua angkat.  
3.Si anak telah meminum setetes darah dari orang tua angkatnya. 
4.Membayar uang adat sebesar dua ulun (dinar) oleh si anak dan orang tuanya sebagai tanda pelepas atau pemisah anak tersebut, yakni bila pengangkatan anak tersebut dikehendaki oleh orangtua kandung anak tersebut. Sebaliknya bila pengangkatan anak tersebut dikehendaki oleh orang tua angkatnya maka ditiadakan dari pembayaran adat. Tetapi apabila dikehendaki oleh kedua belah pihak maka harus membayar adat sebesar dua ulun.
Dalam hukum adat Jawa, perbuatan pengangkatan anak tidak dilakukan melalui suatu upacara tertentu yang tidak diharuskan. Tetapi hanya diadakan suatu selamatan dengan mengundang tetangga-tetangga yang terdekat dengan orang tua angkat, yang bertujuan untuk keselamatan untuk semua pihak. Dengan adanya proses pengangkatan anak tersebut,
dapat dilaporkan kepada kepala desa atau dapat juga tidak dan biasanya kepala
desa tidak mengadakan pencatatan mengenai pengangkatan anak tersebut.
4.
Hubungan Hukum
Terputus segala hubungan perdata, yang berpangkal pada keturunan karena kelahiran, yaitu antara orangtua kandung dan anak tersebut.
Hanya terbatas sebagai
hubungan antara orang tua asuh dengan anak asuh saja tidak sampai menjadikan anak angkat tersebut sebagai anak kandung.
Hubungan ini dipandang sulit untuk memutuskan hubungan anak dengan orangtua kandung.
5.
Akibat Hukum
a. Kekuasaan orangtua terhadap pribadi anak, yaitu orangtua wajib memelihara dan mendidik sekalian anak mereka yang belum dewasa (Pasal 298 ayat 2 KUHPerdata). Sepanjang perkawinan bapak dan ibu tiap-tiap anak sampai ia menjadi dewasa, tetap dibawah kekuasaan orangtua sepanjang kekuasaan orangtua itu belum dicabut (Pasal 299 KUHPerdata)

b. Kekuasaan orangtua terhadap harta kekayaan anak, yaitu terhadap anak yang belum dewasa, maka orangtua harus mengurus harta kekayaan anak itu (Pasal 307 KUHPerdata)
c. Hak dan kewajiban anak terhadap orangtua, yaitu tiap-tiap anak, dalam umur berapapun wajib menaruh kehormatan dan keseganan terhadap bapak dan ibunya serta berhak atas pemeliharaan dan pendidikan.
a. tidak membawa akibat
hukum dalam hal
hubungan darah atau nasab, hubungan walimewali
dan hubungan
waris-mewaris dengan
orang tua angkatnya

b. anak tetap memakai nama
dari Bapak kandung

c. hubungan dengan orang
tua aslinya tidak terputus

d. tetap menjadi ahli waris
orang tua kandungnya

e. tidak mewaris terhadap
orang tua angkatnya tetapi
dapat memperoleh harta
warisan melalui wasiat
wajibah.

a. anak angkat berhak atas warisan sebagai anak, bukannya sebagai orang asing.

b.sepanjang perbuatan pengangkatan anak telah menghapuskan perangainya sebagai “orang asing’ dan menjadikannya perangai “anak” maka anak angkat berhak atas warisan sebagai seorang anak.